Kisah Ayah
Cerpen Deddy Arsya
(Ini kisah ayahku. Ia menceritakannya kepada kami pada suatu malam menjelang larut. Kuceritakan kisah ini kepadamu. Jangan kau ceritakan pula kisah ini kepada oranglain atau kepada siapa saja di sekolahmu dan di mana saja. Ada alasan-alasan tertentu yang membuatku takut jika oranglain tahu. Ayahku dulu ketika menceritakan kisah ini kepada kami juga berkata seperti itu. Kuceritakan kisah ini bukan saja karena kau—dan kau juga!—kelak akan tumbuh besar, menjadi ayah bagi anak-anakmu. Tapi lebih dari itu, bahwa setiap orang adalah tukang cerita. Aku, ibumu, kau—dan kau juga!—berasal dari negeri para pencerita. Pandai-takpandai, bersedia atau tidak, kita telah dikutuk untuk bercerita. Dan ini hanyalah alasan yang kami buat-buat untuk menjadikan kisah yang akan aku ceritakan menjadi menyeramkan, terdengar begitu menyeramkan.)
Si pandir Rajab Syamsudin, sebelum perang meletus hanyalah seorang penabuh dulang. Menyanyikan kisah-kisah para rasul di setiap perhelatan perkawinan di kampung kita. Kini tiba-tiba ia diberi kepercayaan sebagai tukang antar-jemput peluru. Jika bedil terdengar meletus terus-menerus dalam waktu kira-kira dua jam lamanya, dapat dikatakan dengan keyakinan tak guyah, setelahnya, Rajab Syamsudin akan sibuk bolak-balik memasok butiran-butiran peluru kepada front yang sedang bertempur itu. Ia yang kuat, bidang bahunya yang lebar menonjol, dan pangkal lengan yang besar-padat, akan dengan leluasa menuruni lembah-lembah, mendaki bukit-bukit, dengan ransel-ransel penuh peluru di bahunya.
Jika aku berada di pihak si pandir Rajab Syamsudin, aku akan menanggalkan pekerjaan itu. Dapatkah kau bertahan membayangkan diri adalah seorang yang ditugaskan membawa peluru ke mana-mana, tapi tak pernah diberi kesempatan memegang senjata, bahkan sepucuk bedil pun haram untuk dapat kau letuskan? Tapi Rajab Syamsudin bukan aku. Ia juga bukan kau. Ia adalah dirinya sendiri yang pandir. Ada masanya memang dia tiba-tiba menelurkan pikirannya yang cerdas. Tapi kecerdasannya yang sebentar itu tak akan mengalahkan kepandirannya yang berkelanjutan.
Aku ceritakan begini. Mungkin saja yang kuceritakan ini tak sama persis seperti yang pernah diceritakan ayahku kepada kami dulu. Setelah beberapa bulan si pandir Rajab Syamsudin keluar-masuk rimba bersama tentara pemberontak, menghadapi pertempuran-pertempuran sengit berjam-jam, dia tak sekalipun diberi kepercayaan meletuskan senjata. Maka entah apa muasalnya hingga terpikir oleh otak pandirnya itu untuk membuat bedil sendiri dari sebatang bambu tua.
Agar peluru yang dipasang pada tengah bambu yang telah dia lubangi sedemikian rupa itu dapat meletus, ia meregang ban-dalam-sepeda yang pada salah satu ujungnya telah diikatkan sebatang paku. Ujung lain ban-dalam itu diikatkannya pula pada pelatuk dari kawat bekas jerat babi. Begitu pelatuknya ditekan, ban-dalam-sepeda akan lepas. Kepala paku besar yang diikatkan di ujungnya akan mengenai bokong peluru. Begitu bokong peluru dihantam demikian keras oleh kepala paku, dapatlah diperkirakan, peluru itu meletus, ujung peluru yang tajam itu akan terbang menuju sasarannya.
Begitu bedil buatan si pandir Rajab Syamsudin selesai, ia mencobakannya sendiri. Seperti yang diperkirakannya semula, seketika pelatuknya ditekan, ban-dalam-sepeda yang meregang akan lepas, kepala paku menghantam bokong peluru. Maka, seperti yang diperkirakan Rajab Syamsudin sebelumnya, peluru itu pun meletus, ujung peluru yang tajam terbang melesat.
Tapi ada yang dilupakan Rajab Syamsudin. Bahwa dengan melupakan hal yang satu ini dia tetap akan dikenang sebagai si pandir. Ia lupa untuk membuat lubang tempat keluar selongsong peluru! Begitu pelatuk ditekan, dan peluru berhasil meletus, bedil dari bambu itu rengkah karena hantaman selonsong peluru yang tak mendapat jalan keluar. Dan sembilu tajam hasil pecahan bedil buatannya itu membelah perut Rajab Syamsudin sepanjang jangkar. Dari belahan itu, keluar menjuntai usus merah muda. Orang-orang yang menyaksikan kisah ini akan berkata sambil tertawa terbahak-bahak,
“Eee, Pandir!”
Si pandir Rajab Syamsudin, semoga ruhnya tenang di alam sana, ternyata tak mati. Sempat dia tertawa kecil mengenang usahanya yang sia-sia sebelum akhirnya dia roboh ke tanah bersimbah darah.
Ini belum benar-benar berakhir. Setelah kesembuhannya beberapa waktu kemudian, dia kembali ditugaskan menjadi tukang antar-jemput peluru. Bagi teman-temannya, ada terbersit keinginan untuk mempercayakan sepucuk senapan kepadanya, dan ikut maju ke front terdepan. Namun, menurut komandan mereka, karena membayangkan kepandiran Rajab Syamsudin sebelumnya, membuat niat baik itu urung terlaksana. Apalagi jika dia ikut maju ke front, tidak ada lagi orang yang sepandir dirinya yang mau disuruh-suruh ke mana pun. Menjadi tukang antar-jemput peluru, dan terkadang menjemput beras dengan mengendap-endap ke perkampungan?
Maka demikianlah si pandir Rajab Syamsudin tetap saja hanya menjadi tukang antar-jemput peluru. Padahal, nalurinya sebagai lelaki sudah gatal-gatal untuk turut menembak musuh.
Setahun perang berlangsung. Sebatalion besar TP (Tentara Pelajar) masuk lewat Darek. Maka kecamuk peperangan tak lagi ada jedanya. Pertempuran semakin sengit di sana-sini. Dan Rajab Syamsudin, karena sudah ada yang menggantikannya sebagai tukang antar-jemput peluru, akhirnya harus diberi senjata juga. Karena kekuataanya berlari dan napasnya yang seakan-akan tak habis-habis, ia diberi kepercayaan memanggul sepucuk senapan mesin. Ia yang bernapas kuda akan diperintahkan berlari dari satu titik ke titik yang telah ditentukan hanya sekedar untuk meletuskan senapang mesin yang dipercayakan kepadanya itu. Hanya untuk membuat tentara musuh takut, dan berpikir, bahwa lawan mereka mempunyai begitu banyak senapan mesin. Tentara musuh perlahan akan mundur karena gentar pada kelengkapan persenjataan lawan mereka.
*
Pada suatu malam, ketika cahaya bulan sabit tak mampu menembus masuk semak-semak dalam, jalan-jalan setapak licin dan daun-daun pohon menggeraikan sisa hujan. Si pandir Rajab Syamsudin mengendap-endap turun gunung untuk menemui anak-istrinya di kampung setelah cukup lama ditinggalkannya pergi bergerilya. Di tengah perjalanan pulang, dia melihat belasan tentara musuh sedang menyebarangi sungai. Mengetahui itu, dia yang berada di tebing sungai, hanya bisa mengendap-endap di balik rerimbunan pohon barau-barau yang berduri tajam. Dia tak menghabisi tentara-tentara itu walaupun di dadanya sekarang bergayut sepucuk senapan. Dia biarkan saja mereka melintas menuju ke mudik.
Ketika dia menceritakan kepada teman-temannya sesampai di rimba, bagaimana pertemuannya itu, seorang temannya bertanya, “Apa mereka melihatmu?” Dengan kebanggaan seorang prajurit yang berhasil membunuh banyak musuh, Rajab Syamsudin menjawab, “Tidak-tidak! Tak seorang pun dari mereka yang melihatku.” Dan pertanyaan lain pun melayang ke kepalanya, “Berapa orang mereka?”
“Menurut perkiraanku, limabelas, mungkin limabelas, atau lebih!” Rajab Syamsudin akan mengingat-ingat penuh hikmat. “Kalau ketika itu aku menembak mereka, setidaknya aku akan menewaskan tujuh atau delapan orang.”
“Apa kau menembak mereka?” tanya seorang lain.
“Aku ingin menembak mereka, tapi terpikir olehku, bedilku tak akan menewaskan semuanya. Aku yakin itu. Setelah itu tentu aku pula yang akan mereka tembak!”
Bagi Rajab Syamsudin, alasannya untuk membiarkan tentara-tentara musuh itu lewat begitu saja sementara dia punya kesempatan untuk menghabisi tujuh atau delapan orang dari mereka adalah sangat masuk akal. Tapi tentu saja tidak begitu bagi teman-temannya. Mereka akan serempak berteriak: “Eee, Pandir!”
Secerdas apapun alasan yang dikeluarkan Rajab Syamsudin, alasan itu tetap saja keluar dari mulut seorang yang pandir. Bukankah kalah dan menang dalam perang ditentukan dari seberapa banyak kita mampu menjatuhkan musuh? Tak peduli, apakah seseorang juga akan tewas karena itu?
Maka teruslah tersebut Rajab Syamsudin sebagai si pandir. Hingga kisah ini kuceritakan kepadamu, maka sedikit berbesar-hatilah kau untuk menghomatinya dengan sekali-kali menyebutnya Rajab Syamsudin yang cerdas dan berani. Atau gelar apa pun yang tidak berkonotasi pandir.
SETELAH perang saudara itu usai, Rajab Syamsudin, seorang penabuh dulang yang kembali menyanyikan kisah para nabi pada setiap perhelatan perkawinan di kampung kita, diundang walinegeri yang baru saja diangkat. Ia diminta turut memeriahkan malam pengangkatan walinegeri itu: menabuh dulang dan menyanyikan kisah para nabi yang mendayu-dayu.
Sejak saat itu sampai beberapa waktu kemudian, Rajab Syamsudin tercatat sebagai orang cerdas yang mampu menyesuaikan diri dalam keadaaan macam apa pun. Berguna benar pepatah ‘terkurung hendak di luar, terhimpit hendak di atas’ baginya. Teman-teman sesama bekas tentara rimba, dalam waktu tertentu, tak akan berani mengingatnya sebagai si pandir. Dengan bisikan, ‘kamu bekas tentara rimba, ya?’ duduk orang yang ditanyainya itu akan tidak selesai, tiap sebentar mengurak sila. Kalau orang itu kebetulan sedang berdiri, ia akan mondar-mandir tak karuan diliput rasa cemas.
Begitu hebat dan penting Rajab Syamsudin ketika itu. Jika ada yang hendak bepergian ke suatu tempat, kepadanya orang itu akan mengadu. Agar dia mau menolong untuk memintakan surat izin bepergian kepada walinegeri. Karena mereka berkawan. Tersebutlah Rajab Syamsudin sebagai pesuruh walinegeri yang penolong dan murah hati. Ops, tapi tentu dengan beberapa syarat pula. Beberapa keping sen, berjanji sekarung padi di masa panen, atau ....
Tapi suatu malam--muasalnya si pandir tetap saja akan menjadi si pandir, yang pelupa, yang acap salah dalam bertindak, jika pun ia tiba-tiba cerdas, kecerdasannya yang singkat itu tak akan mengalahkan kepandirannya yang berkelanjutan--Rajab Syamsudin dijemput orang beramai-ramai! Namanya tertera di daftar panjang yang dikirim Kodim ke kampung kita. Orang-orang serempak, lagi-lagi, berteriak,
“Eee, Pandir!”
Ini hanya kisah ayahku. Ia menceritakannya kepada kami menjelang malam larut. Aku berharap, aku tidak sedang berbisik kepadamu, atau kepada siapapun. Jika pun ini bisikan, aku berdoa semoga yang aku bisikkan ini bukan dikirim dari lorong-lorong di lembah-lembah, yang sengaja digali untuk membenamkan orang-orang (yang dikira) bersalah. Semoga ini bukan letusan bedil eksekusi, atau bunyi gedebam jatuh kepala sehabis dipenggal.
Untuk mengurangi sedikit rasa penasaran di hatimu, aku akhiri kisah ayahku serupa ini saja: Rajab Syamsudin, yang namanya—bersama banyak nama lain, juga nama walinegeri, kawannya itu—tertera di daftar panjang nama-nama, diangkut truk tentara malam itu juga ke Painan. Tahukah engkau, apa yang membuat dia bebas?
Orang-orang pada sebuah kedai kopi di simpang empat!
Hampir setiap malam, di kedai itu, kisah ini diulang-ulang dengan gelak-tawa pengunjungnya yang menyesaki ruangan, seperti asap rokok murahan yang dijual per batang di kedai itu. Hanya kisah ini yang membuat si pandir Rajab Syamsudin—dan akan selamanya dikenang sebagai si pandir—bebas berkeliaran masuk ke kepala setiap orang. Tak terkecuali menjadi dongeng takut anak-anak. Tentang mereka yang berjalan malam-malam tanpa kepala, tentang lembah-lembah berhantu, tentang jembatan-jembatan baru yang dibikin dari kepala orang-orang, dan tentang rawa-rawa menyumbulkan jerit menakutkan.
Semua itu akan mengunjungi tidurmu!
“Sudah, sudah! Besok pagi kalian pergi sekolah, bukan?” Ibu dari anak-anak itu sudah pulang dari masjid. “Epi, naikkan selimutmu! Kau juga, Isak! Pejamkan mata! Apa yang dikatakan Ayah kalian itu tak satu pun yang benar.”
Setelah anak-anak mereka menaikkan selimut, sepasang suami-istri itu akan menuju ke kamarnya. Mungkin berkeluh tentang pekerjaan kantor yang berat, bayangan hari tua yang merisaukan, atau ... bercinta sampai fajar tiba. Meninggalkan anak-anak mereka yang matanya sudah terpejam—dan pikiran terjaga. Dan beberapa saat anak-anak itu mungkin akan membuka mata, turun dari dipan, membuka jendela, memandangi bulan sabit di puncak kepala. Di puncak gedung-gedung pencakar langit kota itu. Membayangkan sesuatu.
Padang-Pesisir, 2007