HAJJI
Marilah kita
tingkatkan Iman dan taqwa kepada Allah karena hanya dengan taqwa kita akan
mendapatkan ampunan, pertolongan dan surgaNya yang agung.
Kita sekarang berada pada bulan Dzul Qa’dah bulan kesebelas dari bulan Qamariyah, satu dari empat bulan yang disebut dengan bulan-bulan haram اشهر الحرم dan satu dari tiga bulan haji yang disebut dengan أشهر معلومات di sebut Dzul Qa’dah karena mereka:
يَقْعُدُوْنَ فِيْهِ عَنِ اْلأَسْفَارِ وَالْقِتَالُ اِسْتِعْدَادًا لإِحْرَامٍ بِالْحَجِّ.
“Mereka duduk (tinggal dirumah) tidak melakukan perjalanan maupun peperangan sebagai persiapan untuk melakukan ihram haji”.
Pada hari ini
kita saksikan bersama persiapan dan pem-berangkatan para jemaah calon haji.
Kita rasakan bersama betapa kebahagiaan telah menghiasi wajah mereka dan sejuta
harapan telah tertanam dalam di lubuk hati mereka, manakala saudara-saudara
kita tadi meninggalkan kampung halamannya terbang menuju kiblat umat Islam
sedunia, memenuhi panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tidak ada ibadah
seagung ibadah haji, tidak ada sesuatu agama yang memiliki konsep ibadah
seperti konsep haji Islam. Haji mengandung seribu makna, merangkum sejuta
hikmah. Karena itu haji merupakan tiang kelima dari kelima pilar utama dalam
Islam.
Di lihat dari sebutannya saja ibadah ini sudah unik. Betapa tidak Al-Allamah
Abu Abdillah Muhammad bin Abdir Rohman Al-Bukhari Alhanafi Azzahid (546 H)
menjelaskan. “Haji adalah bermaksud (berkeinginan dan bersengaja), sementara
maksud dan niat, keduanya menghantarkan seseorang menuju cita-cita, niat adalah
amal yang paling mulia karena ia adalah pekerjaan anggota yang paling utama
yaitu hati, manakala ibadah ini adalah ibadah yang paling besar dan ketaatan
yang paling berat maka disebut ibadah yang paling utama” yaitu Al-Haj yang
berarti al-qashdu.
Tatkala seorang
haji tiba di ka’bah, dan sebelumnya dia sudah mengetahui bahwa pemilik rumah
(ka’bah) tidak berada di sana, maka dia berputar mengelilingi rumah : Thawaf
mengisyaratkakn bahwa ka’bah bukanlah maksud dan tujuan. Tetapi tujuannya
adalah pemilik rumah رب الكعبة..
Begitu pula
mencium hajar aswad, bukan berarti dan bukan kerena menyembah batu, melainkan
karena mengikuti sunnah rasul. Karena beliaulah yang mencontohkan kita untuk
melakukan yang demikian. Inilah pembeda antara musyrik dan muslim. Dulu orang
musyrik mencium batu karena untuk menyembah batu. Tetapi sekarang Muslim
mencium batu untuk mengikuti sunnah rasul yang diantara hikmahnya adalah
seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu .
“Hajar Aswad adalah bagaikan tangan kanan Allah dimuka bumi ini. Maka barangsiapa yang menjabatnya (menyentuhnya) atau menciumnya maka seolah-olah ia menjabat (tangan) Allah dan mencium tangan kananNya.”
Karena itu ketika
menyentuhnya seorang haji harus mengingat bahwa ia sedang berbai’at kepada
Allah (pencipta dan pemilik batu yang telah memerintah untuk menyentuhnya).
Berbai’at untuk selalu taat dan tunduk kepadaNya, dan harus ingat barang siapa
yang menghianati bai’at maka ia berhak mendapatkan murka dan adzab Allah.
Karena maksud kita bukan البيت tetapi رب البيت dan karena unsur niat begitu utama dan penting
maka Allah brfirman:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ.
“Dan sempurnakanlah haji dan umrah itu karena Allah”
Karena itu
pulalah para ulama menganjurkan bahwa kewajiban pertama bagi calon haji adalah
bertaubat. Bertaubat dari semua dosa dan maksiat, baik calon haji itu seorang
petani, pegawai, polisi, artis, dokter, mentri maupun seorang kiayi, laki-laki
maupun perempuan , tua maupun muda.
Inilah yang
disyaratkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya:
وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى.
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baiknya bekal adalah taqwa”(al-Baqarah; 197).
Tentu saja kita sudah maklum bahwa taqwa itu tidak bisa dicapai kecuali dengan bertaubat dan meninggalkan segala jenis perbuatan maksiat.
Kalau calon haji sudah bertaubat maka ia akan mampu memahami dan menjiwai syiar haji yang teramat indah itu yaitu.
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ.
Ia akan menghayati seolah-olah berucap: Ya Allah aku datang, akau datang, memenuhi panggilanMu, lalu aku berdiri di depan pintuMu. Aku singgah di sisiMu. Aku pegang erat kitabMu, aku junjung tinggi aturanMu, maka selamatkan aku dari adzabMu, kini aku siap menghamba kepadaMu, merendahkan diri dan berkiblat kepadaMu. BagiMu segala ciptaan, bagiMu segala aturan dan perundang-undangan, bagiMu segala hukum dan hukuman tidak ada sekutu bagiMu. Aku tidak peduli berpisah dengan anak dan istriku, meninggalkan profesi dan pekerjaan, menanggalkan segala atribut dan jabatan, karena tujuanku hanyalah wajah-Mu dan keridhaanMu bukan dunia yang fana dan bukan nafsu yang serakah maka amankan aku dari adzabMu.
Jika calon haji
sudah bertaubat maka ia pasti akan mampu mencapai hakekat haji yang telah
digariskan oleh Allah, dalam firman-Nya:
Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan Haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197)
Seorang yang
beribadah haji tidak boleh melakukan rofats yaitu jima dan segala ucapan dan
perbuatan yang behubungan dengan seksual. Tidak boleh melakukan Fusuq yaitu
segala bentuk maksiat dan tidak boleh melakukan jidal yaitu perdebatan yang
mengikuti hawa nafsu, bukan untuk mencari kebenaran.
Maka barang siapa
yang telah sukses memenuhi perintah Allah tersebut ia akan mendapatkan haji
yang mabrur, yang diantara tandanya adalah sepulang haji ia tidak akan
mengulang maksiat, dosa-dosa yang lalu, ia akan tampil sebagai muslim yang
shalih dan muslimah yang shalihah.
Maka sebuah
negara semakin banyak muslim dan muslimah yang taat, negara itu akan semakin
aman makmur dan sentosa. Maksiat dan kemungkaran akan menepi, perjudian dan
pencurian akan sepi, perzinaan dan pembunuhan akan mudah diatasi. Apalagi jika
yang pergi haji adalah Bapak Bupati, para Mentri dan Pak Polisi.
Sepulang haji
yang kikir akan menjadi dermawan, yang kasar akan menjadi pengantin dan yang
biasanya menyebar kejahatan berubah menebar salam.
Itu semua
manakala hajinya mabrur. Namun kenyataannya adalah bagaikan siang yang
dihadapkan dengan malam, semuanya bertolak belakang, mereka tidak mengambil
manfaat dari ibadah haji selain menambah gelar Pak Haji atau Bu Hajjah. Yang
korup tetap korup, yang artis tetap artis, yang lintah darat tetap lintah
darat, yang jahat tetap jahat.
Maka tidak heran
jika Rofats, Fusuq dan Jidal marak dimana-mana sampai terjadi krisis moral,
krisis nilai, krisis kemanusiaan, krisis politik, lingkungan, ekonomi dan sosial.
Demikianlah
sekelumit tentang makna haji, haji mabrur dan potret haji kita, semoga Allah
menjadikan haji kita yang dahulu dan yang akan datang menjadi haji yang mabrur,
dan semoga dijauhkan dari haji yang maghrur (tertipu) dan mabur.